Selasa, 29 Oktober 2013

Sejarah dan Dinamika Periklanan Indonesia

Postingan saya yang ini adalah hasil rangkuman buku yang saya baca, judulnya RUMAH IKLAN : Upaya Matari Menjadikan Periklanan Indonesia Tuan Rumah di Negeri Sendiri. Buku ini ditulis oleh Pak Bondan Winarno. Penerbit Buku Kompas, Maret 2008.

-Flo-




PERINTIS PERIKLANAN INDONESIA
   Sejarah memang membuktikan bahwa iklanlah yang mengembuskan napas awal bagi kehidupan surat kabar di Indonesia. Pada masa-masa awal kehidupan pers Indonesia- dan keadaan ini berlanjut hingga awal abad ke-20 - surat kabar tidak lain adalah media iklan belaka.
   Pada masa perintisan periklanan Indonesia, hampir semua perusahaan periklanan merupakan afiliasi perusahaan media - sesuatu yang di masa sekarang justru dianggap sebagai pembenturan kepentingan. Pemilik surat kabar Java Bode, misalnya, juga memiliki sebuah perusahaan periklanan HM van Dorp yang diwakili oleh seorang bernama C.A. Kruseman. Ia dianggap sebagai salah seorang perintis dalam periklanan di Indonesia.
   Keterlibatan orang-orang etnis Tionghoa dalam bisnis media di Indonesia juga melibatkan mereka di bidang periklanan sejak awal. Yap Goan Ho, misalnya, seorang yang telah lama bekerja sebagai copywriter di perusahaan periklanan De Locomotief, kemudian mendirikan sendiri sebuah perusahaan periklanan di Jakarta. Perusahannya dikontrak oleh surat kabar berbahasa Melayu, Sinar Terang, khusus dengan tujuan untuk mendatangkan iklan bagi surat kabar itu. Tokoh Tionghoa lainnya adalah Liem Bie Goan, juga memiliki perusahaan periklanan yang dikontrak surat kabar Pertja Barat untuk menangani iklan-iklannya. Ada juga seorang bernama Tie Ping Goan yang perusahaan periklanannya dikontrak oleh surat kabar Tjaja Soematra.
   Tokoh-tokoh perintis periklanan pribumi yang tercatat namanya adalah R.M. Tirto Adisoerjo, Raden Goenawan, dan Tjokoamidjojo. Adisoerjo adalah pemilik surat kabar Medan Prijaji yang beredar di Batavia. Ia kemudian mendirikan perusahaan periklanan yang dipercayakan kepada Goenawan, seorang yang sebelumnya pernah bekerja di perusahaan periklanan NV Soesman's.
   Tjokroamidjojo adalah seorang aktivis Sarikat Dagang Islam di Semarang yang menerbitkan surat kabar Sinar Djawa. Sebagai mantan copywriter, Tjokro tahu manfaat iklan dan kemudian juga mendirikan sebuah perusahaan periklanan sebagai bagian penting usaha penerbitannya.
   Tokoh-tokoh lain yang dapat diperhitungkan keperintisannya antara lain : M. Sastrositojo dari Medan Moeslimin, Abdoel Moeis dari Neratja, Liem Kha Tong dari Ming, Joedoprajitno dari Jupiter, Hendromartono dari Mardi Hoetomo, dan S. Soemodihardjo dari Economie Blad.

PERUSAHAAN PERIKLANAN PERINTIS
   Hadirnya Unilever membawa masuknya cikal bakal Lintas (Lever International Advertising Services) ke Nusantara. Semula, Lintas adalah divisi periklanan dari Lever Brothers, sebelum kemudian berdiri sendiri menjadi perusahaan periklanan independen. Apa yang dilakukan Lintas yang berlogo bola dunia pada masa-masa awal itu sebetulnya tidak lain adalah melakukan adaptaso bentuk+bentuk iklan yang telah mereka luncurkan terhadap produk-produk serupa di bagian dunia lainnya,  serta melakukan media placement.
   "Model organisasi" seperti Lintas itulah yang agaknya kemudian ditiru beberapa usahawan di Batavia dan kota-kota besar Indonesia lainnya. Hingga masa pendudukan Jepang, beberapa perusahaan periklanan yang terkenal di Jakarta, antara lain :
- A de la Mar, di Koningsplein (sekarang Jalan Medan Merdeka Utara, dekat Istana Merdeka)
- Aneta (sebagai bagian dari kantor berita bernama sama), di Passer Baroe (sekarang Museum LKBN Antara di Jalan Antara)
- Globe, di Jalan Kali Besar Timur
- IRAB (Indonesia Reclame en Advertentiebureau), semula berkantor di Molevliet (sekarang jalan Hayam Wuruk), tetapi kemudian pindah ke Asem Reges (kemudian menjadi Sawah Besar, sekarang Jalan KH Samanhudi)
- Preciosa, di Gang Secretarie (Kantor Sekretariat Negara sekarang, Jalan Veteran IV)
- Elite, (tidak tercatat alamatnya)
Hampir semua perusahaan periklanan itu dipimpin oleh orang Belanda, kecuali IRAB dan Elite yang diselenggarakan oleh kaum bumiputra.

   Beberapa perusahaan periklanan yang tercatat hadir di Jakarta pada masa kembalinya pemerintahan RI ke Jakarta antara lain adalah : Azeta, Contact, Cotey, De Unie, Elite, F. Bodmer, Franklijn, Garuda, Grafika, Ippres, IRAB, Kilat, Korra, Life, Lintas, Oriental, Patriot, Pikat, Reka, Studio Berk, dan Titi. Di Bandung juga hadir beberapa perusahaan periklanan, antara lain : Medium, Djepati, Florida, King's, Korra (kantor cabang), Limas, Lintas (kantor cabang), dan Rosada.


KEBANGKITAN ASOSIASI PERIKLANAN INDONESIA
   Atas prakarsa beberapa perusahaan periklanan yang berdomisili di Jakarta dan Bandung, pada awal September 1949 dilembagakan sebuah asosiasi bagi perusahaan-perusahaan periklanan. Asosiasi ini diberi nama Bond van Reclamebureaux in Indonesia atau dalam bahasa Indonesia Perserikatan Biro Reklame Indonesia (PBRI). Nama asosiasi yang masih menggunakan bahasa Belanda ini tidak lain karena mayoritas anggotanya adalah perusahaan-perusahaan periklanan yang dimiliki orang Belanda. Sebelas perusaah periklanan tercatat sebagai anggota PBRI, yaitu : Budi Ksatria, Contact, De Unie, F. Bodmer, Franklijn, Grafika, Life, Limas, Lintas, Rosada, dan Studio Berk.
   Kehadiran PBRI dianggap hanya mewakili perusahaan-perusahaan periklanan besar-khususnya yang dimiliki atau dikuasai oleh orang-orang Belanda. Perusahaan-perusahaan kecil merasa bahwa aspirasi mereka tidak menemukan jalan untuk disampaikan ke dalam PBRI.
   Suasana seperti itu kemudian memicu lahirnya sebuah asosiasi perusahaan periklanan nasional yang dimiliki dan diawaki oleh orang-orang Indonesia. Serikat Biro Reklame Nasional (SBRN) dibentuk pada tahun 1953, dan sertamerta menjadi organisasi tandingan bagi PBRI. Anggota SBRN yang tercatat adalah 13 perusahaan periklanan : Azeta, Elite, Garuda, IRAB, Kilat, Kinibalu, Kusuma, Patriot, Pikat, Reka, Lingga, Titi, dan Trio.
   Namun, tidak semua perusahaan periklanan bersedia bergabung ke dalam asosiasi. Contohnya adalah Medium yang telah bertukar nama menjadi Balai Iklan. Ia memilih untuk tidak bergabung dengan salah satu dari dua asosiasi itu. Tjetje Senaputra, pemiliknya, berdalih bahwa Balai Iklan tidak menangani iklan display dan karena itu tidah menganggap perusahaannya sebagai full-service agency. Balai Iklan memang mengkhususkan diri pada iklan-iklan klasika berukuran kecil tentang lowongan kerja dan berita keluarga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar